Cermin Ichwan Persada’s review published on Letterboxd:
CERMIN: Yang Muda Yang Berlaga di Medan Perang
Tahun 2003. Pertama kalinya saya membaca tulisan panjang bergaya jurnalisme sastrawi. Judulnya pun menarik, Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, ditulis Alfian Hamzah.
Saya berkenalan dengan Rokhim, tokoh utama di cerita itu. Nama lengkapnya Mukhamad Khusnur Rokhim. Pangkatnya prajurit kepala. Ia menemani Alfian selama peliputan perang TNI – GAM sekitar tahun 2002. Dari mulut Rokhim yang ditulis tangan Alfian maka terbentang sebuah kenyataan tentang sebuah peperangan.
Dan Alfian pun melihat sendiri apa yang terjadi di medan perang. Bahwa perang tak sesederhana membela tanah air. Tak sehitam putih yang kita bayangkan. Dan tentu saja tak semuluk-muluk membangga-banggakan soal patriotisme.
Kadang perang terjadi karena ego. Dunia bisa mendadak menjadi kacau karena ego para pemimpinnya. Tiba-tiba perang Rusia – Ukraina berkecamuk karena ego Putin. Tiba-tiba perang Jerman – Prancis berlangsung bertahun-tahun dan menewaskan hampir 17 juta orang. Sebagian besar diantaranya anak muda.
Di Aceh kita bertemu Rokhim. Di Jerman kita bertemu Paul Baumer. Rokhim masuk dinas ketentaraan di usia 20 dan mendapat pelatihan yang cukup sebelum diterjunkan ke medan perang. Paul tidak seberuntung Rokhim. Bersama teman-temannya, ia begitu menggebu terlibat dalam peperangan. Semangat mudanya dibakar oleh patriotisme palsu. Ambisinya menumbangkan Prancis dinyalakan oleh para jenderal dengan ego sebesar kapal Titanic.
Maka terdamparlah Paul ke medan perang. Dan terjebaklah ia di dalamnya selama beberapa lama dan tak bisa keluar. Dan ia hanya bisa nanar menyaksikan senjata mesin dan bom menghabisi nyawa pasukan seusianya tanpa ampun. Dan ia sesungguhnya tak siap.
Edward Berger sebagai sutradara menyeret kita masuk ke medan perang. Menempatkan kita berada di tengah-tengah desing peluru. Memperlihatkan peluru yang menerjang kepala, menembus tubuh dan seketika membuat nyawa melayang di udara. Dan seperti Paul, kita pun tak siap.
“All Quiet on the Western Front” yang diadaptasi dari novel Erich Maria Remarque terbit pertama kali di tahun 1928. Sebuah protes paling nyaring seputar perang di kala negara-negara masih gemar bertikai satu sama lain. Dituturkan dari sudut pandang seseorang yang mendaftar di dinas ketentaraan pada usia 18 dan langsung diterjunkan di Front Barat. Ditulis oleh seorang anak muda yang tak siap dengan apa yang sesungguhnya terjadi di medan perang. Dan dunia melihat perang tak lagi sama.
Alasannya sederhana. “All Quiet on the Western Front” memperlihatkan bahwa tak ada yang menang di medan perang. Semuanya kalah. Warga sipil menderita, puluhan juta tentara menjadi korban dan kehilangan nyawa. Dan apakah semua pengorbanan itu sebanding?
Seperti Rokhim, Paul juga mencoba memahami apa yang sesungguhnya terjadi di saat perang. Dan mereka berdua tak pernah benar-benar bisa memahami. Padahal mereka ada di garis depan. Dan siap menyabung nyawa. Entah untuk alasan bela negara, atau kepahlawan, atau memang sekedar untuk memenangkan ego seorang jenderal.
Dan kita pun bersedih. Puluhan juta nyawa terbuang sia-sia. Puluhan juta masa depan anak muda hilang musnah begitu saja. Dan mereka mati di medan perang sebagai pahlawan tak bernama. Yang tak akan dielu-elukan seperti jenderal pimpinan mereka.
Saya mencoba mengingat yang serba kocak dari pengalaman Paul. Seperti saat mereka mencuri seekor angsa dari rumah warga karena mereka kelaparan berat. Di medan perang, dengan gagah berani mereka menantang maut. Di kehidupan nyata, keduanya lari kocar-kacir ketika aksi pencurian angsa diketahui oleh sang pemilik. Tapi kadang sedikit yang kocak menutupi ribuan kegetiran. Di tengah hari-hari penuh lautan darah, rasanya menyenangkan melihat tentara-tentara berusia muda itu menjadi manusia biasa.
Tapi apa yang sesungguhnya dicari dari perang? Karena kadang perang hanya memperebutkan lahan yang tak seberapa luas. Dan sangat tak sebanding dengan nyawa yang bergelimpangan. Dan ujaran George Santayana di tahun 1922 pun menggema dengan keras hingga ke hari ini. “Only the dead have seen the end of war.”