Sudar 😌 Manto’s review published on Letterboxd:
Burning dipinang dari cerpen sastrawan Jepang, Haruki Murakami, berjudul Barn Burning. Murakami banyak terpengaruh penulis Amerika, William Faulkner, yang salah satu cerpennya juga berjudul Barn Burning.
Murakami, dalam teksnya biasa menulis cerita yang, katakanlah, suraelisme. Seperti cerpennya yang diadaptasi sineas Korea Selatan, Lee Chang-dong, menjadi Burning (saja).
Jong-su digambarkan sebagai pemuda Korea dengan kehidupan kerasnya. Dia bertemu Hae-mi, seorang avonturir, yang ingin bepergian ke Afrika. Hae-mi teman masa kecil Jong-su. Hae-mi punya karakter yang penuh imajinasi. Penonton tidak dipaksa memercayai apakah Hae-mi punya kucing atau tidak di kamar rusunnya. Kadang batas kebenaran dan ketidakbenaran memang setipis persepsi (?). Kalau kita percaya, kita mungkin sebodoh Jong-su, yang memanggil-manggil kucingnya tanpa tahu keberadaannya. Namun di ruang lain ada kucing, di rusun Ben, yang dipersepsikan Jong-su itu kucing Hae-mi karena nengok ketika namanya dipanggil. Namanya siapa ya si kucing?
Banyak simbol di Burning, misal ketika Ben menguap melihat polah Hae-mi yang menari Afrika. Itu kebosanan Ben. Ben dan Hae-mi bertemu di Afrika. Ben cowok kaya, sementara Jong-su? Ada juga pengakuan Hae-mi saat pernah kecebur sumur di kampungnya dan diselamatkan Jong-su. Tapi benarkah ada sumur di kampung mereka dulu? Sekejap penonton memandang Hae-mi sebagai cewek halu yang akhirnya hilang misterius.
Lalu bagaimana menerjemahkan kalimat Ben, kalau dia gemar membakar gudang plastik di dekat rumah Jong-su? Padahal nggak ada satu pun gudang plastik hangus terbakar.
Menonton Burning dari sebuah adaptasi seorang penulis yang karyanya sempat digemari kaum hipster Indonesia—di antaranya Rangga di AADC2 yang punya novel dari Murakami, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage—memang agak dilema. Ada napas suraelisme dan eksistensialisme dalam Burning yang seolah-olah buah kunyahan imajinasi sutradara. Dan penonton mesti menelan itu. Namanya nonton film ya, mesti pasrah pada hasrat film itu sendiri.
Burning memang terlalu telanjang bagi penonton umum, termasuk saya yang belum baca Barn Burning, karena seperti ada jarak jauh antara layar dengan mata penonton. Penonton tidak melihat bintang Ursa Minor di langit (metafora aja) sehingga bingung ke arah mana persepsi melayar. Tapi ya, karena liar itu, medium film kadang mengasyikan.